Laporan Harian, MAKASSAR – Perbedaan juga sebagai modal sosial. Orang sering istilahkan keanekaragaman, juga disebut heterogenitas. Ceritanya seperti berikut ini. Ada seorang ustadz yang menyampaikan ceramah. Penampilannya berbeda dari ustadz lainnya. Songkoknya berbeda model dari ustadz lain, baik dari sisi warna maupun ukuran tingginya. Pakaiannya juga berbeda dari “norma” yang dianut para ustadz.
Penampilan ustadz tersebut diperbincangkan oleh jamaah. Lalu ada seorang jamaah berefleksi, “itulah yang membuat kita hidup.” Sambil mengangguk-angguk saya tertawa mendengar kedalaman makna dari kalimat teman jemaah saya itu. Teman ini ingin mengatakan bahwa perbedaan itu membuat kita bisa saling berbicara. Di dalam pembicaraan itu tentunya ada kehidupan.
Ada dinamika hidup dalam berkelompok karena berbeda. Ada semangat bertutur karena berbeda. Ada motivasi memperhadapkan ide karena berbeda. Ada rasa penasaran yang muncul karena berbeda. Ada konflik yang terjadi karena berbeda. Ada nilai yang diperjuangkan karena berbeda. Dan ada keutuhan yang terjadi karena berbeda.
Apakah itu dinamika, motivasi, semangat, penasaran, nilai, konflik, atau keutuhan, semuanya adalah bagian penting dari hidup. Jadi bukan persamaan yang membuat kita saling berbicara, tapi motifnya dari perbedaan. Bukan persamaan yang membuat kita selalu termotivasi tapi perbedaan atau yang sering disebut dengan “gap”. Bukan persamaan yang membuat kita ingin tahu sesuatu, tapi perbedaan. Bukan persamaan yang membuat kita konflik tapi perbedaan, dan karenanya kompromi sering lebih penting dari kesamaan.
Kita berbicara karena kita melihat yang berbeda dari yang kita pahami. Kita berbicara karena kita ingin mempertemukan perbedaan pandangan. Begitulah menerjemahkan mengapa sebuah kemunitas terlihat banyak diskusi di dalamnya, karena di sana terdapat banyak perbedaan. Sama halnya saat melihat mengapa ada pasangan sangat rajin berbicara satu sama lainnya, karena di situ banyak perbedaan pandangan yang ingin dikompromikan.
Itulah sungguh bijak menggunakan istilah “titik temu” karena disitu bisa terjadi “kelezatan” kehidupan bagi yang berbeda. Titik temu itu sebenarnya lebih bermakna kesepahaman akan perbedaan.
Tuhan memang menciptakan makhluknya untuk berbeda. Ujian kemakhlukan seseorang itu dari caranya mempersepsi perbedaan. Sebuah ayat dalam kitab suci yang menceritakan tentang tujuam kita diciptakan supaya saling kenal mengenal, p
yang diakhiri dengan penekanan bahwa yang paling mulia itu adalah yang bertakwa. Saat membaca ayat itu, saya menafsir sendiri mengapa ketakwaan menjadi penutup terhadap keanekaragaman hidup. Karena dalam sikap terhadap perbedaan itulah yang menentukan keualitas budi seorang hamba.
Dari sikap terhadap perbedaan itu terpapar siapa sombong dan siapa rendah hati. Dari sikap terhadap perbedaan itu terbaca siapa pemarah dan siapa peramah. Dari sikap terhadap perbedaan itu, terjelaskan siapa pemurah dan siapa pelit. Dari sikap terhadap perbedaan itu tercontreng siapa yang suka mentraktir dan siapa yang senangnya anugra (anu gratis).
Oleh:
Hamdan Juhannis
Rektor UIN Alauddin